Menguliti Sejarah Perkembangan Kota Benteng, Kemarin, Hari Ini, Esok, dan Yang Akan Datang -->
Cari Berita

Advertisement

Menguliti Sejarah Perkembangan Kota Benteng, Kemarin, Hari Ini, Esok, dan Yang Akan Datang

24 April 2021


StatusRAKYAT.com, Selayar
- Kabupaten Selayar di semenanjung selatan, Ibukota Provinsi Sulawesi-Selatan, telah menorehkan begitu banyak rangkaian catatan panjang sejarah pemerintahan dan pembangunan.

Empat titik, lokasi pelabuhan yang menjadi pintu keluar masuknya kapal barang dan penumpang di era tahun 1970-an sampai tahun 2000-an, menjadi saksi bisu, puncak kejayaan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Selayar, kala itu.

Arus bongkar muat berbagai bentuk komoditi dan hasil bumi di ke empat lokasi tersebut, menjadi bukti nyata, akan begitu makmurnya kehidupan masyarakat petani dan penggarap tanah lahan perkebunan kota Bumi Tanadoang yang didukung oleh kekayaan potensi sumberdaya alam (SDA) melimpah ruah.

Kala itu, biji kakao (coklat), kopra, kemiri, pala, kelapa, pisang, jeruk nipis, jeruk manis, sampai jeruk besar, dan beberapa jenis ubi, tak pernah alpa mewarnai rutinitas bongkar muat barang dan penumpang di ke empat pintu pelabuhan yang kini tinggal menyisakan catatan kenangan itu.

Tak hanya komoditi pertanian, dan perkebunan. Komoditi hasil laut dan tambak, seperti ikan bolu, udang, kepitingpun, ikut mewarnai rutinitas bongkar muat barang di pelabuhan.

Namun sayang, karena kondisi tersebut tidak berlangsung lama dan mencapai puncak keemasannya di era tahun 1999-2000-an.

Pintu-pintu pelabuhan yang dulu menghubungkan kota Benteng dengan area Labuang Korong, dan Pelabuhan Lappe'e, Kabupaten Bulukumba, hilang satu persatu. 

Dermaga kayu Benteng dibiarkan hancur bersamaan dengan kebijakan pembangunan Plaza Marina yang pada saat bersamaan menggeser pelabuhan darurat di sebelah utara dermaga kayu.


Bangkai randor, kapal ferry yang dulu menjadi saksi bisu keberadaan pelabuhan daruratpun ikut hilang, dan tertimbun oleh bangunan plaza marina.

Bangunan ruang publik yang awalnya didesign sebagai anjungan kota  Bumi Tanadoang, belakangan, kemudian beralih fungsi menjadi lapak pedagang kaki lima berkesan kumuh dan semrawut.

Dalam rentang waktu yang tidak lama, bangunan plaza marina kemudian dibiarkan rusak dan terbengkalai hingga menjadi bangunan mubassir dengan kesannya yang gelap gulita, angker, dan menyeramkan tanpa memikirkan akan betapa besarnya gelontoran anggaran uang negara yang telah dikucurkan pemerintah, untuk merintis dan membangun kawasan plaza marina sebagai rest area ruang publik.

Pergeseran signifikan kebijakan penataan kota Benteng, sebagai pusat transaksi ekonomi, ikut ditandai salah satunya dengan kian maraknya kegiatan pembangunan kawasan pertokoan dan ruko yang menutupi hampir seluruh aliran drainase pembuangan raksasa, di kota Benteng yang perlahan merubah wajah kota Benteng menjadi langganan genangan air di musim penghujan.

Sementara bangunan pemecah ombak di sisi sebelah barat kota Benteng  yang merupakan salah satu bangunan fisik peninggalan mantan bupati Anas Achmad, kini tinggal menyisakan batu-batu berserakan di tepi pantai.


Bangunan yang sebelumnya menjadi kunci sukses untuk melindungi dan membebaskan kota Benteng dari ancaman banjir rob di musim barat.

Berawal dari kebijakan pembangunan pemecah ombak, yang dirintis, mantan bupati Anas Achmad, kota Benteng, berhasil 'disulap' sebagai kota berparas 'seksi' dan eksotis dengan daya dukung panorama pantainya yang terbuka dan transparan, tanpa sekat.

Berikutnya, tanggul penahan ombak, ikut dibangun untuk memback up dan menghalau percikan air laut agar tidak sampai ke darat.

Bangunan tanggul penahan ombak sarat kenangan dan nostalgia yang terbangun dari susunan batu sungai berukuran besar yang kini tinggal menyisakan puing-puing

Kini, semuanya tinggal menyisakan nama dan kenangan belaka. Kawasan pantai sisi sebelah barat kota Benteng, perlahan berubah semakin semrawut dan kumuh, terlebih setelah berdirinya berbagai bentuk bangunan lapak pkl yang menutupi kawasan bibir pantai.

Keragaman aktivitas masyarakat yang dulu ramai berjubel di pesisir pantai untuk mancing, mencari biri-biri, tinggal sekedar nostalgia.

Pantai sebagai icond andalan kota Benteng, perlahan sirna dan bergeser, usai di bangunnya tanggul multi fungsi yang memakan hampir seperdua bahu jalan dan terbukti tak mampu menangkal badai gelombang pasang yang pecah sampai ke jalan.

Parahnya lagi, percikan badai gelombang hampir setiap tahun, merubah sebahagian wajah kota Benteng dan pesisir pantai sebelah barat, bak tempat pembuangan akhir sampah (TPA).

Tak hanya kehilangan kawasan pesisir pantainya. Akan tetapi, perlahan tapi pasti, Selayar juga mulai kehilangan keindahan panorama alam perbukitan hijaunya yang rusak oleh tangan-tangan jahil dan habis tergerus oleh mesin escavator.

di luar batas kesadaran, badai angin musim barat yang sebelumnya tak pernah menembus kawasan perkampungan di titik-titik wilayah terpencil, kini harus ikut merasakan bias kerusakan alam, usai dihancurkannya kawasan perbukitan yang sebelumnya menjadi tameng dan pelindung di musim cuaca buruk.

Namun apa daya, nasi terlanjur menjadi bubur. Kawasan alam perbukitan yang dulu hijau, rindang, dan lebat, kini terlanjur rusak dan tak akan mungkin lagi untuk dikembalikan.

Menyesalpun tak lagi berguna, karena penyesalan tak akan mampu merubah kondisi alam yang sudah terlanjur rusak oleh perilaku serakah sebahagian manusia.