![]() |
Oleh : Tri Karsohadi kepada media StatusRakyat.com |
StatusRAKYAT.com,Indramayu - Ada satu hal yang tak pernah gagal menarik perhatian publik: ketika seorang kepala daerah mengambil keputusan yang dianggap tidak masuk akal.
Begitulah yang kini tengah menggemparkan jagat maya dan ruang-ruang diskusi di warung kopi hingga balai desa. Keputusan Bupati Indramayu dari Partai NasDem, Lucky Hakim, yang mengumumkan penempatan tenaga ahli dari unsur masyarakat sipil, justru menuai badai kontroversi.
Masyarakat menyoal. Media sosial mendidih. Tagar-tagar nyinyir berseliweran. Pertanyaan-pertanyaan ini bermunculan. “Apakah ini hanya panggung politik baru?” “Apakah ini akan menguras APBD?” Atau lebih tepatnya: “Apakah ini cara baru membagi-bagi proyek pemerintah?”
Dalam politik lokal, langkah kecil bisa berubah menjadi gelombang besar. Sebuah pengumuman yang seharusnya memberi kepercayaan masyarakat, justru menimbulkan kualitas buruk.
Siapakah Salman?
Nama yang paling sering disebut dalam riuh polemik ini adalah Salman.
Ya Salman, sosok yang tiba-tiba mendadak populer, bukan karena prestasi, tapi karena jabatan staf khusus yang diberikan langsung oleh Bupati.
Pertanyaan sederhana tapi tak terjawab: Siapa sebenarnya Salman?
Apakah ia seorang pakar pembangunan? Seorang ahli tata kelola pemerintahan? Atau sekedar orang dekat yang sedang diberi panggung politik?
Kegaduhan ini bukan sekedar soal nama, melainkan soal simbol. Karena ketika publik bertanya “Siapakah Salman?”, yang sebenarnya ditanyakan adalah: “Apakah penarikan ini benar-benar demi kepentingan rakyat, atau hanya demi kepentingan segelintir orang?”
Ketika Politik Bertemu Media Sosial
Kontroversi ini tak berhenti di ruang formal. Ia menjalar, meluas, menjadi konsumsi media sosial. Dari TikTok hingga grup WhatsApp, memuat seputar Salman jadi bahan gosip harian. Bahkan seorang politikus, Bambang Hermanto, dengan lantang mengirimkan permohonannya di TikTok. Ia mengajak lawan Lucky Hakim untuk menggeruduk pendopo.
Apa artinya? Ada yang lebih dalam dari sekadar penolakan. Ada aroma yang terbelah. Ada tanda-tanda bahwa kepercayaan yang dulu diberikan kepada bupati mulai rapuh. Pertanyaannya: Apakah ini sinyal awal bahwa Lucky Hakim akan ditinggal oleh pengikutnya sendiri? Atau jangan-jangan ini hanya mengungkapkan emosi sesaat dari seorang politisi yang sedang mencari panggung lain?
Inilah uniknya politik lokal di era digital. Satu unggahan bisa lebih berisik daripada rapat resmi. Satu video TikTok bisa lebih mempengaruhi opini publik dibandingkan pidato panjang kepala daerah.
Panggung Bernama Stafsus
Sejak awal, keberadaan staf khusus di daerah memang sering dipersoalkan. Bukan sekali dua kali, menudingnya publik hanya jadi “kursi kehormatan” bagi kerabat atau loyalis politik. Bukan tempat kerja, melainkan panggung.
Panggung yang dibangun dengan biaya rakyat.
Pertanyaannya kini mengarah langsung ke Bupati Indramayu: Apakah mengangkat Salman bagian dari panggung itu? Atau ada argumen rasional yang bisa meyakinkan masyarakat bahwa keputusan ini murni untuk percepatan pembangunan?
Sayangnya, hingga hari ini, penjelasan itu tidak terdengar jelas. Yang terdengar justru adalah peringatan dari Kepala Badan Kepegawaian Nasional (BKN), Prof Zudan Arif Fakrulloh.
Pesannya lugas: kepala daerah harus bijak. Jangan mengakomodir kepentingan pribadi atau kelompok. Jangan buang anggaran untuk sesuatu yang tidak berdampak langsung bagi rakyat.
Pesan ini bukan peringatan kosong. Ia seperti teguran halus sekaligus menghasilkan keras. Dan wajar bila masyarakat bertanya: Apakah bupati kita tidak membaca peringatan itu? Ataukah waktu luangnya memang lebih banyak dihabiskan untuk siaran langsung di TikTok daripada menelaah regulasi dan peringatan resmi?.
Menguji Kepercayaan Publik
Polemik stafsus ini bukan sekedar soal nama Salman atau keputusan Lucky Hakim. Ini tentang kepercayaan masyarakat. Tentang bagaimana rakyat menilai serius atau tidaknya seorang kepala daerah menjalankan amanah.
Karena pada akhirnya, rakyat menuntut transparansi.
Rakyat ingin tahu:
• Berapa anggaran yang dipakai untuk stafsus?
• Apa kontribusi nyata yang menjanjikan?
• Bagaimana mekanisme seleksinya?
Semua pertanyaan itu bukan basa-basi. Ia adalah syarat minimal bagi seorang kepala daerah untuk menjamin kredibilitas.
Ketika Kebijakan Jadi Blunder
Keputusan politik selalu punya risiko. Tapi risiko terbesar muncul ketika keputusan itu dianggap blunder. Dalam kasus ini, kontroversi Salman sudah cukup menjadi bukti bahwa langkah bupati tidak disiapkan dengan matang. Tidak dikomunikasikan dengan jelas. Tidak dijelaskan dengan transparan.
Apa jadinya bila keputusan yang seharusnya memperkuat kinerja pemerintahan malah menambah jarak antara bupati dan rakyatnya? Apa jadinya bila stafsus yang diharapkan jadi jembatan, justru menjadi tembok yang mempertebal ketersediaan publik?
Di sinilah letak permasalahan paling serius: bukan hanya soal siapa yang diangkat, tapi soal bagaimana keputusan itu diambil dan dikomunikasikan.
Belajar dari Kontroversi
Kita tahu, setiap kepala daerah punya hak untuk mengangkat staf ahli. Tapi hak itu bukan cek kosong. Ia harus dipertanggungjawabkan. Bukan hanya kepada aturan hukum, tapi juga kepada hati nurani rakyat.
Kontroversi Salman memberi pelajaran penting: komunikasi politik yang buruk bisa meruntuhkan legitimasi. Transparansi yang minim bisa menimbulkan pembusukan. Dan keputusan yang terkesan seremonial bisa berubah menjadi bumerang.
Pertanyaan terbesar kini adalah: apakah Bupati Lucky Hakim mau belajar dari kontroversi ini? Atau ia akan terus berjalan dengan gaya lama: lebih sering tampil di layar ponsel, namun tidak ada dalam menjawab masalah sebenarnya?
Penutup: Pertanyaan yang Tersisa
Editorial ini tidak bermaksud menghakimi, tapi mengingatkan. Bahwa jabatan bupati bukan panggung pribadi, melainkan amanah publik. Bahwa setiap kursi stafsus bukan tempat duduk kosong, melainkan beban anggaran rakyat. Bahwa setiap keputusan politik adalah janji yang akan ditentukan oleh sejarah.
Maka mari kita ajukan kembali pertanyaan-pertanyaan yang menggantung:
• Siapakah sebenarnya Salman?
• Untuk jabatan stafsus yang diberikan?
• Apakah kebijakan ini demi rakyat, atau demi segelintir orang?
•Apakah bupati masih mendengar suara rakyat, atau sudah lebih sibuk mendengar tepuk tangan di layar media sosial?
Publik memahaminya. Masyarakat berhak bertanya. Publik berhak menuntut jawaban. Karena demokrasi tidak lahir dari diam, melainkan dari keberanian untuk bersuara.
Dan hari ini, suara itu sedang bergema dari pelosok penjuru Indramayu. (Mtd/TK)